TUGAS RESUME
Keterpaduan Islam dan Sains
(Integrasi Ilmu)
Diajukan
untuk Memenuhi Tugas Kelompok
Mata
Kuliah: Pengembangan Praktikum
Dosen : Edy Candra, M.Si. M,Pd
Dosen : Edy Candra, M.Si. M,Pd
Disusun
oleh:
Deasi Ratna Ningsih (59461230)
Biologi C / Semester VII
JURUSAN BIOLOGI - FAKULTAS
TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) SYEKH NURJATI
CIREBON
2012
BAB
I
PENDAHULUAN
A.Latar
Belakang dan Gambaran Buku
Tuhan telah memberikan
kita pilihan, bahkan pilihan untuk beriman atau ingkar kepada-Nya.dan apapun
pilihan yang akhirnya kita pilih, kita harus bertanggung jawab terhadapnya,
dalam arti menanggung segala konsekuensinya. Termasuk konsekuensinya terhadap
pandangan dunia dan keilmuan kita. Ketika ilmuan-ilmuan barat (terutama massa
pascarenaisans) merasa ragu, atau bahkan kehilangan kepercayaan mereka pada
realitas metafisik (alam gaib) maka merekapun menganut paham sekuler dalam
berbagai bentuknya: agnostistisisme, naturalisme, materialisme, ateisme, atau
positivisme.pada gilirannya paham sekuler ini pun mempengaruhi pandangan
keilmuan mereka sedemikian rupa sehinggamerekapun menciptakan sebuah sistem ilmu
sekuler yang mereka sebut science sesuai dengan pandangan mereka.maka tak heran
kalau dikatakan bahwa dibarat telah terjadi sekularisasi ilmu, dimana science
dibatasi objek-objeknya hanya pada entitas-entitas fisik. Sejak massa itu ilmu
(sains) tidak pisa dipisahkan dari “sekularitas”dan sejalan dengan hegemoni
barat yang mendunia, maka pandangan sains “sekuler” inipun kemudian diadopsi
dimana-mana di dunia ini termasuk di Indonesia. Dengan ini terkenalah ilmu-ilmu
sekuler (umum) yang dikontraskan dengan ilmu-ilmu agama.
Begitu
lekatnya pengertian sains sekarang ini dalam pikiran kita sehinnga kita sering
bertanya-tanya mungkinkah kedua macam ilmu tersebut dapat diintegrasikan? Tentu
saja pertanyaan ini harus mendaptkan jawaban yang memadai mengingat pentingnya
pern reintegrasi ilmu pengetahuan bagi perkembangan pendidikan dinegri tercinta
ini.
Reitegrasi
ilmu-ilmu: sebuah demonstrasi
DR.Haidar
bagir
Sekali lagi pak
mulyadhi melahirkan karya penting dan setelah beberapa bukunya yang telah
terbit sebelumini, tak sulit bagi saya untuk mengatakan bahwa pak Mulyadhi memang
tahu kemana kita harus berjalan. Dalam buku ini, pak Mulyadhi mengungkapkan
kekayaan khazanah filsafat Islam dan sekaligus mendemonstrasikan kekayaan
khazanah pemikiran penulisnya yang membuka peluang yang amat lega dan konkret
bagi upaya-upaya reintegrasi itu, peluang ini dimungkinkan bukan hanya oleh
kekayaan khazanah filsafat Islam sedemikian, melainkan juga oleh sifat filsafat
Islam yang sejak awal perkembangannya amat menghargai pengembangan ilmu
pengetahuan. Bahkan, lebih dari itu filsafat Islam memang tak pernah berkembang
terlepas dari perkembangan ilmupengetahuan. Salah satusatu dampak sekularisme
adalah pemisahan (dikotomi) ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum. Barat,
sebagai penganut paham ini (sekular) hanya membatasi keilmuannya (sains modern)
pada hal-hal yang bisa dikatakan ilmiah apabila obyek-obyeknya bersifat
empiris. Sehingga, konsekuensi dari pembatasan ini akan menimbulkan dikotomi
pada semua sisi keilmuan. Karena hanya berpijak pada hal yang
bersifat empiris, yaitu segala yang bisa dicerap oleh indra (indriawi), maka di
luar obyek indriawi mutlak dinafikan keberadaannya. Membicarakan hal-hal yang
tidak nyata (gaib), seperti eksistensi Tuhan, malaikat, dan status jiwa (psikologi)
adalah tidak ilmiah. Berdasar paham sains Barat ini.
Kesenjangan
paham inilah melatarbelakangi Dr. Mulyadi Kartanegara menuangkan kritik
ilmiahnya melalui buku “Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik”
Melalui kajian yang mendalam, ia melakukan upaya demonstratif dalam memadukan
(integrasi) ilmu umum (sekular) dan ilmu agama. Menurut Mulyadi:
B.
Biografi Penulis
Dr.Mulyadhi
Kartanegara adalah doktor filsafat lulusan
Universitas Chi cago. Kini, dia mengajar mata kuliah filsafat diberbagai perguruan
tinggi: Program Pascasarjana di UIN Syarif Hidayatullah dan di IAIN Sunan
Kalijaga; Program Pasca sarjana di Universitas Indonesia dan program
pascasarjana Islamic College for Advanced Studies (ICAS) cabang London,Jakarta. Karya-karyanya yang telah dipublikasikan,
antara lain, adalah Renungan Mistik Jalal
Al-Din Rumi (Pustaka Jaya,1987) dan Mozaik
Khazanah Islam (Paramadina,2000), Sejarah
Filsafat Islam (terjemahan,1999) dan The
Venture of Islam (terjemahan,2002), menembus
batas waktu (Mizan,2002). pengantar
Epistomologi Islam (Mizan 2003), Jalal Al-Din Rumi: Guru Sufi, Penyair Agung
(Teraju,2004), seni mengukir kata (MCL,2005), dan kearifan para filosof (Hikmah,2005).
Tahun
2001-2003 pernah menjadi Direktur Pelaksana Program Pascasarjana Pusat Kajian
Agama dan Lintas Budaya Universitas Gadja Mada. Sekarang selain mengajar, ia
aktif menulis – antara lain Tradisi
Ilmiah Islam (selesai April 2005), dan menyelami
lubuk Tasawuf, serta aktif
berpartisipasi dalam berbagai seminar, dalam dan luar negri.
PROLOG
Tampak jelas bahwa
Universitas Islam Negri (UIN) Syarif hidayatullah Jakarta sangat membutuhkan
sebuah panduan bagi penyelenggaraan pendidikan yang andal dan integral,
mengingat selama ne sistem pendidikanyang ada, baik pada level nasional maupun
internasional, masih sangat dipengaruhi oleh dualisme yang kental antara
ilmu-ilmu Agama, disatu pihak dan ilmu-ilmu umum / sekuler, dipihak
lain.kebutuhan tersebut semakin mendesak lagi setelah lembaga ini berubah nama
dan karakter dari sebuah institut yang membatasi dirinya pada kajian (dalam hal
ini agama islam)-menjadi sebuah universitas.Perubahan ini tentu saja membawa
konsekuensi diperkenalkannya bidan-bidang ilmu sekuler,seperti IPA ,psikologi
,matematika ,ekonomi ,tekhnik informasi kedokteran dll. Yang dari sudut
metologis tentu memiliki perbedaan-perbedaan yang
signifikan.Perbedaan-perbedaan yang signifikan dari sudut metodologis ini pada
gilirannya telah menimbulkan problem-problem epistomologis yang hingga saat ini
belum lagi ditemukan solusisolusinya yang efektif.
Bukti nyata dari
kebutuhan UIN pada adanya panduan dan model integrasi ilmu ditunjukkan dengan
diselenggarakannya seminar nasional berkenaan dengan reintegrasi ilmu,yang
diselenggarakan tahun lalun . Seminar yang diharapkan mampu memformulasikan
model pendidikan integral yang sangat dibutuhkan UIN dalam penyelenggaraan
pendidikannya ini , telah memberikan banyak masukan yang berharga, tetapi tentu
saja belum bisa dikatakan memadainsebagai panduanpraktis bagi penyelenggaraan
proses belajar mengajar disana, sehingga masih dirasakan perlu untuk menyusun
sebuah karya yang lebih sistematik dan terpadu bagi setiap fakultas yang
mengelola program studi tertentu.
BAB
II
INTISARI
BUKU
PROBLEM
Diktonomi ilmu kedalam
ilmu agama dan non agama, sebenarnya bukan hal yang baru. I slam telah
mempunyai tradisi dikotomi ini lebih dari seribu tahun silam. Tetapi diktonomi
tersebut tidak menimbulkan terlalu banyak problemdalam sistem pendidikan Islam,
hingga sistem pendidikan sekuler Barat diperkenalkan ke dunia Islam melalui
imperialisme. Hal ini terjadi karena , sekalipun dikotomi antara Ilmu-ilmu Agam
dan non-agama itu telah dikenal dalam karya-karya klasik, seperti yang ditulis
Al-Ghazali (w.1111) dan ibnu kaldun (w. 1406), ia tidak mengingkari, tetapi
mengakui validitas dan status ilmiah masing-masing kelompok keilmuan tersebut.berbeda dengan diktonomi yang di kenal dunia Isam,
sains modern Barat sering menganggap rendah status keilmuan ilmu-ilmu
keagamaan. Ketika berbicara tentang hal-hal gaib, ilmu Agma tidak bisa
dipandang ilmiah karena sebuah ilmu baru bisa dikatakan ilmiah apabila
objek-objeknya bersipatempiris. Padahal ilmu-ilmu agama tentu tidk bisa
menghindar dari membicarakan hal-hal yang gaib, seperti tuhan, malaikat, dan
sebagainya sebagai pembicaraan pokok mereka.
Nah,
ketika ilmu-ilmu sekuler positivistik
tersebut diperkenalkan ke Dunia Islam lewat imperialisme barat, terjadilah
dikotomi yang yang ketat antara ilmu-ilmu agma, sebagaimana dipertahankan dan
dikembangkan dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional (pesantren) di
satu pihak, dari ilmu-ilmu sekuler, sebagaimana diajarkan di sekolah-sekolah
umum yang disponsori pemerintah dipihak lain. Pihak kaum teraisional menganggap
bahwa ilmu-ilmu umum itu bi’dah atau haram dipelajari karena berasal dari
orang-orang kafir ,sementara para pendukung ilmu –ilmu umum menganggap
ilmu-ilmu agama sebagai pseudo ilmiah,atau hanya sebagai mitologi yang tidak
akan mencapai tingkat ilmiah,karena tidak berbicara tentang fakta,tetapi
tentang maknna yang tidak bersifat empiris.
Pada saat ini,justru dikotomi seperti
inilah yang terjadi dan telah menimbulkan berbagai problem yang akut dalam
sistim pendidikan kita. Di sekolah-sekolah umum,kita masih mengenal pemisahan
yang ketat antara ilmu-ilmu seperti fisika,
matematika, biologi,sosiologi dll, dan ilmu ilmu agama, seperti tafsir,
hadis, fikih, dan lain–lain, seakan akan muatan religius itu hanya ada pada
mata pelajaran, sementara ilmu-ilmu umum semuanya adalah profan dan netral di
lihat dari sudut religi.
Di
pihak lain, ilmu–ilmu agama yang mendasarkan dirinya pada kitab –kitab suci
juga tidak semestinya di perlakukan lebih rendah dari pada ilmu–ilmu
modern.karena seperti halnya fenomena alam adalah ayat–ayat atau tanda–tanda
ilahi,demikian juga kitab suci adalah ayat-ayat tuhan yang sama dan satu.oleh
karena itu,sebuah upaya harus di lakukan untuk bisa mengatasi problem dikotomi
ilmu ini ke dalam sebuas sistem yang integratif dan holistik. Problem
berikutnya yang bisa muncul dari dikotomi ilmu di atas adalah timbulnya
kesenjangan tentang sumber ilmu antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum.para
pendukung ilmu-ilmu agama hanya menganggap valid sumber-sumber ilahi dalam
bentuk kitab suci dan tradisi kenabian dan menolak sumber-sumber
non-skrip-tural sebagai sumber otoritatip untuk menjelaskan kebenaran yang
sejati.percerapan indra dan penalaran rasional sering di sangsikan validitas
dan efektivitasnya sebsgsi sumber ilmu pengetahuan.
Di pihak
lain,ilmuan-ilmuan sekulerhanya menganggap valid informasi yang di peroleh
melalui pengamatan indriawi,karena bagi mereka,satu-satunya sumber ilmu adalah
pengalaman enpiris melalui persepsi indriawi lebih khusus lagi melalui metode
induksi.metode deduksi yang di tempuh oleh akal atau nalar sering di curigai
sebagai apriori,yakni tidak melalui pengalaman atau aposteriori.adapun
pengalaman intuitip sering di anggap sepi hanya sebagai sebuah halusinasi atau
bahkan sebuah ilusi belaka,sementara oleh kaum beragama intuisi (hati) di
pandang sebagai sumber pengetahuan (ma’rifah) yang sangat mulia.demikian
penting pengakuan atas intuisi sebagai sumber ilmu sehingga penolakan
terhadapnya akan meruntuhkan pondasi utama bagi kepercayaan kita kenabian.
Selain kedua problem di atas,dikotomi
ilmu ke dalam ilmu-ilmu agama dan umum (sekuler) ini juga bisa menimbulkan
problem berkenaan objek-objek ilmu yang di anggap “sah” untuk sebuah di siplin
ilmu.sain modern telah menentukan bahwa objek-objek ilmu yang sah adalah “segala
sesuatu sejauh ia dapat di obserpasi atau di amati oleh indra “ .
Di pihak lain, para
pendukung ilmu-ilmu agama justru menganggap bahwa objek-objek non fisik,seperti
tuhan dan malaikat merupakan objek-objek mulia yang pembahasan tentangnya tidak
hanya akan menguatkan dan meningkatkanstatus ilmiah bidang yang mempelajari
objek tersebut.kontras antara kedua sistem ilmu tersebut dapat di lihat dari
kenyataan bahwa sementara bagi para pemikir dan ilmuan muslim metafisika adalah
mahkota ilmu,bagi ilmuan-ilmuan barat justru fisika yang mereka pandang sebagai
the science,yakni sain sejati yang harus di teladani oleh semua disiplin ilmiah
lainnya terutama dalam hal metode yang di gunakan metode lainnya.
Problem lainya yang
sangat potensial muncul dari dikotomi klasifiksi ilmu secara radikal ke dalam
ilmu-ilmu agama dan umum adalah munculnya disentegrasi pada tatanan klasifikasi
ilmu. “Ilmuwan-ilmuwan sekular hanya menganggap valid informasi yang diperoleh
melalui pengamatan indriawi, karena bagi mereka, satu-satunya sumber ilmu
adalah pengalaman empiris melalui persepsi indriawi, lebih khusus lagi melalui
metode induksi. Metode deduksi yang ditempuh oleh akal atau nalar sering
dicurigai sebagai apriori, yakni tidak melalui pengalaman atau aposteriori.
Karena dalam metode ilmiah modern konvensional akal dipakai sebagai alat bantu
dalam memutuskan valid tidaknya pengamatan indra yang dilakukan, tetapi bukan
sebagai sumber ilmu yang independen.”
TAUHID:
PRINSIP UTAMA INTEGRASI
Konsep tauhid tentu
saja diambil dari formula konvensional “La ilaha illallah” yang artinya “tidak
ada tuhan selain Allah”. Dan, seperti yang telah disinggung di atas,ia telah
menjadi pinsif paling dasar dari ajaran Islam, dan dalam kaitannya dengan
concern kita tentang integrasi ilmu,telah menjdi prinsip yang paling utama dari
prinsip-prinsip epistemologi Islam, sehingga ia juga telah menjadi asas
pemersatu atau dasar integrasi ilmu pengetahuan manusia.
Dalam
perkembangannya ,formula “la ilaha illallah” telah dipahami dan dirumuskan
secara beragam oleh para teolog, fuqaha, sufi, dan filosof. Para teolog dan fuqaha cenderung mengambil
arti harfiah dan formula tersebut dengan menerjemahkannya sebagai “ tidak ada
tuhan yang wajib disembah kecuali Allah”. Namun sejalan dengan pendekatan
Filosofis (dan mistik) dalam karya ini, disini akan dibahas tauhid dalam perspektif
filosofis karena dalam persefektifinilah integrasi ilmu menemukan ekspresinya
yang paling nyata. Adanya konsep tauhid sudah bisa menjadi bantahan
terhadap paham yang meniadakan eksistensi Tuhan. Sebagai Sang Kebenaran
(al-Haqq) atau Sang Realitas Sejati (menurut bahasa Ibn ‘Arabi), tentu tidak
bisa dicapai melalui pengamatan indriawi semata, tapi bisa dirasakan dan
diketahui melalui penalaran (akal) karena kemampuannya menangkap hal-hal yang
bersifat abstrak yang disebut ma’qulat (the intelligibles) atau bisa juga
melalui intuisi atau hati yang perolehan tertingginya adalah wahyu, sedangkan
yang lainnya bisa mengambil bentuk inspirasi (ilham), lintasan pikiran
(flashes), dan lain-lain.
Dari konsep tauhid ini juga,
sekaligus menjadi basis integrasi ilmu. Keyakinan tentang keesaan Tuhan
(Allah), yang dalam penafsiran para filosof Muslim (al-falasifah) sebagai
wahdah al-wujud (paham Mulla Shadra), yang berimplikasi akan keyakinan bahwa
pemilik sejati wujud alam ini adalah Dia semata. Berbeda dengan para teolog dan fuqaha, seperti
di sebut di atas para filosof Muslim
mempunyai tafsir mereka sendiri tentang keesaan Tuhan (tauhid) ini, Keesaan Tuhan bagi mereka berarti bahwa
Tuhan haruswlah simple (basith), tidak
boleh tersusun dari apa pun kecuali zat (esensi)-Nya sendiri.
Meskipun begitu, pandangan yang
lebih relevan dengan topik kita sebenar
nya adalah tafsir keesaan Tuhan menurut Mulla Shadra dalam apa yang biasanya di
sebut sebagai ajaran “wahdah al-wujud”.Tentu saja konsep wahdah al- wujud Mulla
Shadra ini di adopsi dari konsep sufi, khususnya Ibn ‘Arabi’ (w. 1240). Sejalan
dengan itu, para filosof muslim, khususnya Ibn Sina juga mengatakan bahwa pada
dirinya alam adalah mumkin al-wujud artinya wujud-wujud yang mungkin, dan
dengan itu dia maksudkan sebagai wujud potensial. Tetapi, dari semua pandangan
yang ada, konsep wahdah al-wujud Mulla Shardah-lah yang, menurut saya, paling cocok untuk dijadikan
sebagai basis integrasi ilmu, terutama bagi ststus ontologis objek-objek
penelitinya.
Dan karena itu, segala
tingkat wujud boleh menjadi objek yang valid bagi ilmu karena realitas otologis
mereka telah di tetapkan (fixed).Penjelasan Mulla Sharda tentang wahdah al- wujud ini, tampaknya telah dia
adopsi dari ajaran Suhrawardi Al-Maqtul (w. 1192) tentng cahaya. Menerutnya,
cahaya padahakikatnya adalah satu, tapi dia menjadi berbeda beda tingkat dan
intensitasnya karna adanya barzakh barzakh (bardzikh) yang menyela diantaranya.
Dengan demikian, semakin jauh cahaya jauh dari sumbernya, yaitu Allah, sang Nur
Al-anwar, maka akan semakin redup sinarnya karna sebagian diserap oleh
rangkaian barzakh yang amat panjang yang seperti kaca riben dapat merambatkan
cahaya itu pada yang di bawahnya, tetapi sebagian lagi terendam pada dirinya.
Inilah kiranya konsep tauhid Mulla
Shadra dalam bentuk “kesatuan wujud” yang seperti telah di singgung di atas
dapat dijadikan sebagai basis integrasi ilmu, terutama bagi objek-objek ilmu
dan juga (sebagai implikasinya) bagi yan lain-lain, seperti suber, klasifikasi
ilmu, metode ilmiah dan sebagainya, seperti yang akan saya tunjukan pada
bab-bab berikutnya.
Integrasi di bidang objek-objek ilmu juga bisa berimplikasi pada
integrasi di bidang sumber ilmu. Sebab, kalau objek ilmu tidak terbatas hanya
pada objek-objek fisik yang bisa di tangkap oleh indra-indra manusia, Oleh
karena itu, sejalan dengan integrasi di bidang obje-objek ilmu, maka sumber
ilmu juga harus diperluas meliputi akal, hati, dan wahyu.
Demikian pula konsep wahdah al- wujud
ini juga bisa menjadi basis integrasi bagi metode ilmiah. Pembatasan objek ilmu
oleh sains moderrn pada benda-benda fisik membuat metode utamanya adalah
observasi indriawi.
Observasi indriawi ini
bisa dilakukan melalui alat bantu
seperti teleskop atau mikroskop, tapi jelas dasarnya adalah observasi indra
melalui eksperimentasi.Selain dibidang objek, sumber, dan metode konsep tauhid
falsafi dalam bentuk ajaran wahdah al- wujud ini juga dapat menjadi basis
klasifikasi ilmu-ilmu filosofis (rasional). Salah satu dampak sekularisme adalah
pemisahan (dikotomi) ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum. Barat, sebagai
penganut paham ini (sekular) hanya membatasi keilmuannya (sains modern) pada
hal-hal yang bisa dikatakan ilmiah apabila obyek-obyeknya bersifat empiris.
Sehingga, konsekuensi dari pembatasan ini akan menimbulkan dikotomi pada semua
sisi keilmuan.
BASIS
INTEGRASI ILMU-ILMU AGAMA DAN UMUM
Dikotomi yang begitu
ketat antara ilmu-ilmu agama dan sekuler,seperti yang telah digambarkan pada pendahulauan karya ini, tentunya sangat
disayangkan karena telah mengarah pada pemisahan yang tidak bisa dipertemukan
lagi antara keduanya dan bahkan cenderung pada penolakan keabsahan
masing-masing dengan menggunakan metode yang juga sangat berbeda dengan sudut
jenis dan prosedurnya.sebelum kita beranjak lebih jauh pada pembicaraan tentang
basis integrasi bagi kedua ilmu tersebut, perlu kita kemukakan bahwa pemilahan
(bukan pemisah) antara ilmu-ilmu agama dan umum sebenarnya telah diperkenalkan
oleh para cendekiawan Muslim klasik, seperti Al-Ghazali dan ibn Khaldun. Tetapi
karena mereka menggunakan konsep ilmu yang integral dan menemukan basis yang
menyatukan keduanya, dikotomi yang mere lakukan hanyalah sekadar penjenisan
bukan pemisah apalagi penolakan validitas yang satu terhadap yang lain sebagai
bidang atau disiplin ilmu yang sah. Tentu saja ilmuan-ilmuan muslimakan percaya
sepenuhnya bahwa sumber dari segala ilmu adalah Allah, Tuhan, yang mereka sebut
sang Kebenaran (Al-Haqq) atau ada juga yang menyebutnya The Ultimate Reality
(Realitas sejati).dan karena tujuan dari ilmu adalh untuk mengetahui sesuatu
sebagaimana adanya, yang berarti untuk mengetahui kebenaran sejati, maka tuhan
sebagai kebenaran sejati tentu merupakan sumber bagi segala kebenaran
lainnya,termasuk kebenaran atau
realitas-realitas ilmu. Dengan demikian ilmuan-ilmuan Muslim sepakat bahwa
sumber ilmu adalah Allah sendiri, sang kebenaran, persoalannya adalah bagaimana
kita mengetahui kebenaran tersebut, dan mengapa terjadi pemilahan kedalam kedua
kelompok ilmu tersebut diatas, kalau sumbernya satu dan sama.
INTEGRASI
OBJEK-OBJEK ILMU
Dengan kriteria objek
yang bisa dipelajari oleh sains seperti ini, maka sains modern telah
mengembangkn studi atau kajian yang ekstensif tentang dunia fisik, dari dunia
mikro, hingga dunia makro, agar terjadi integrasidibidang objek-objek ilmu maka
lingkup ilmu harus diperluas, mencakup bukan hanya objek-objek fisik, melainkan
juga nonfisik, seperti matematika dan metafisika. Adapun alasan yang biasanya
dikemukakan oleh sains moderen untuk membatasi objek-objek ilmu ini hanya pada
bidang fisik-empiris adalah karena objek-objek ini sajalah yang bisa diteliti
secara objektif dan karena itu bisa diverifikasi kebenaranny. Adapun yang
disebut dengan integrasi objek-objek ilmu ini adalah sebuah sistem terpadu
objek-objek ilmu yang bersifat metafisik,imajinal, dan fisik yang disajikan
secara utuh,bukan secara persial,ketika objek-objek ilmu hanya dibatasi pada
bagian-bagian tertentu saja, dengan mengabaikkan objek-objek lainnya adapun
objek-objek ilmu yang lebih dikenal dan diakui, baik oleh pemikir barat maupun
muslim adalah objek-objek fisik yang bisa kita lihat dengan mata kepala kita.
INTEGRASI BIDANG ILMU METAFISIKA
Kosekuensi integrasi
objek-objek ilmu ini adalah adanya integrasi bidang-bidang, atau ada yang
menyebutnya disiplin-disiplin ilmu. Lingkup objek-objek ilmu yang begitu luas
dan
Beragam, oleh karena itu ilmuan-ilmuan
muslim atau filosof-filosop muslim telah mengelompokkan bidang-bidang ilmu
tersebut sesuai dengan kelompok objek-objeknya. Sebagai contoh, Ibn Sina (w. 1037),
misalnya, mengelompokkan obyek-obyek ilmu ke dalam tiga macam, yaitu: (1)
obyek-obyek yang secara niscaya tidak berkaitan dengan materi dan gerak; (2)
obyek-obyek yang senantiasa berkaitan dengan materi dan gerak; dan (3)
obyek-obyek yang pada dirinya immateriil, tetapi kadang melakukan kontak dengan
materi dan gerak. Ilmu-ilmu metafisika yaitu kelompok
ilmu yang mempelajari entitas-entitas
yang berada di balik alam fisik.ibnu khaldun, dalam kitabnya yang
terkenal Al-Muqodimah, membagi ilmu-ilmu metafisika ke dalam lima bagian:
- bagian yang mempelajari wujud sebagai wujud, yang biasa disebut ontologi atau ilmu tentang wujud
- bagian yang mempelajari materi umum yang mempengaruhi benda-benda jasmani dan spiritual, seperti kuiditas, kesatuan, pluralitas, dan kemungkinan.
- Bagian yang mempelajari asal-usul benda-benda yang ada dan menentukan apakah mereka itu adalah entitas-entitas spiritual atau bukan.
- Bagian yang mempelajari bagaimana cara benda-benda yang ada muncul dari entitas-entitas spiritual dan mempelajari susunan mereka.
- Bagian yang mempelajari keadaan jiwa setelah perpisahannya dengan badan dan kembalinya ia ke asal atau permulaannya.
- Mate-matika dibagi menjadi tujuh cabang yaitu;
1.Aritmettika
2.Geometri
3.Astronomi
4.Musik
5.Optika
6.ilmu
tentang gaya
7.Alat-alat
mekanik
- Ilmu-ilmu Alamyang menyelidiki benda-benda alami dan aksiden-aksiden yang inheren didalamnya, dibagi menjadi:
- Minerologi, yang meliputi: kimia, geologi, metalurgi
- Botani yang berkaiatan dengan seluruh spesies tumbuhan, dan sifat umum dan khusus dari masing-masing spesies
- Zologi, yang berhubungan dengan berbagai spesies binatang yang berbeda-beda.
INTEGRASI
SUMBER ILMU
Yang dimaksud dengan
sumber ilmu adalah alat atau sesuatu dari mana manusia bisa mendapatkan
informasi tentang objek-objek ilmu yang berbeda-beda sifat dasar
(tabiatnya).ketika sains barat membatasi objeknya hanya pada entitas-entitas
fisik, maka alat atau sumber yang mereka pakai untuk memperoleh pengetahuan
tentang entitas-entitas fisik tersebut adalah indra-indra fisik(senses).tentu
saja indra merupakan alat yang canggih untuk memperoleh informasi tentang
benda-benda fisik dari berbagai dimensi bentuk : suara, rasa, raba, dan
bau.baik ilmuan barat dan ilmuan muslim tidak berselisih paham tentang ini,
yakni tentang pentingnya indra sebagai sumber ilmu.hanya saja karena objek-objek
ilmu tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga non fisik, tentunya perlu dicari
alat (sumber) ilmu pengetahuan lain yang mampu menggali informasi tentang
objek-objek non indriawi.
INTEGRASI
PENGALAMAN MANUSIA
Kita sering mendengar
ungkapan bahwa ilmu (sains) harus bersifat empiris, artinya berdasarkan pada
pengalaman, tetapi yang dimaksud dengan pengalaman disini biasanya adalah
pengalaman indriawi karena menurut para pendukungnya ,pengalaman indriawi
inilah satu-satunya pengalaman manusia yang dapat diverifikasi secara ilmiah
yaitu dapat dibuktikan benar
INTEGRASI
PENJELASAN ILMIAH
Pemihakan sains moderen
terhadap materialisme dalam bentuk positivisme dan naturalisme telah
menyebabkan timbulnya pemberontakan (revolusi) terhadap penjelasan ilmiah
aristotelian, yamg mensyaratkan sebuah penjelasan ilmiah untuk memenuhi empat
sebab atau empat perinsip penjelasan:
1.sebab efesien
2.sebab final
3.sebab material
4.sebab formal
Dalam alam pikiran
moderen, sebab material dan formal dianggap kuno dan tidak memiliki nilai makna
yang besar kecuali dalam estetika. Sebab final juga telah lama disingkirkan dalam
fisika. Dalam bidang biologi, sebab final kadang-kadang masih digunakan, pada
level common sense, untuk memahami fenomena biologis atau perkembangan, tetapi sebagian
besar ahli biologi dengan terang-terangan menganggap tak berguna atau bahkan
menjijikan terhadap sebab-sebab tersebut.pada massa sekarang, satu-satunya
sebab yang masih diperhatikan dalam penjelasan ilmiah sains modern adalah sebab
efesien, yang dipandang sebagai sebab
terjadinya gerak atau perubahan. Dengan demikian, menjadi jelas betapa keempat
sebab ini merupakan satu kesatuan tunggal dari penjelasan ilmiah yang tidak
akan sempurna kalau kita meninggalkan atau hanya mengambil salah satunya. Hanya
dengan menjelaskan keempat sebab bagi
sebuah objek yang sedang kita teliti, maka kita akan memperoleh pengetahuan
yang holistik dan komprehesif tentangnya.
INTEGRASI
ILMU TEORITIS DAN PRAKTIS
Dalam
tradisi filosofis Islam, pengetahuan teoritis dan praktis—sesekali pun bisa
dibedakan menurut obyek dan tugasnya—tidak bisa dipisahkan secara tegas tanpa
menimbulkan disintegrasi pemahaman kita. Ilmu-ilmu praktis yang diciptakan oleh
para filosof Muslim selalu mempunyai landasan teoritis—khususnya landasan
metafisiknya. Itulah sebabnya, mengapa buku politik al-Farabi tidak langsung
berbicara tentang topik-topik yang berkaitan dengan politik, tetapi justru
dimulai dengan diskusi yang cukup panjang tentang topik-topik metafisika.” (hlm. 164)
PSIKOLOGI
SEBUAH STUDI KASUS
Dalam pembahasan ini
ingin mengemukakan contoh dalam bentuk studi kasus dari sebuah cabang ilmu, yaitu
psikologi, yang dapat dikaji secara integral dan holistik. Psikologi merupakan
bidang yang menarik untuk dikaji secara integral karena kedudukannya yang
istimewa antara dunia fisik dan dunia metafisik, dalam kajiah ilmiah modern
Barat “jiwa” tidak lagi dipandang sebagai subtansi materil yang berbagi dengan
dunia metafisik , tetapi semata-mata sebagai fungsi otak dengan sistem
neurologisnya yang canggih, tetapi tetap bersifak fisik, berbeda dengan
pandangan ilmu barat modern, para filosof muslim dari Miskawaih,Ibnu sina dan
Mula Shandra memandang jiwa sebagai sebuah substansi immateril yang memiliki
kaitan yang erat dengan jiwa-jiwa atau intelek samawi yang bersifat immateril
(metafisik).
Di Barat, psikologi
mengalami reduksi dan degradasi yang parah. Dengan keinginannya untuk diakui
sebagai disiplin ilmiah, psikologi harus rela tunduk pada paradigma
positivistik, dengan membatasi bidang kajiannya hanya pada bidang-bidang
empiris dan risiko ia harus kehilangan dimensi metafisiknya. Psikologi dalam
tradisi filosofis Islam dapat dilihat dalam konteks yang sangat luas, yaitu
metafisik atau kosmik sehingga jiwa manusia pun dapat, setelah kematiannya,meneruskan
perjalanan hidupnya untuk kembali kepada asalnya yang tidaklain dari Allah SWT.
BAB
III
KELEBIHAN DAN KEKURANGAN BUKU
KELEBIHAN DAN KEKURANGAN BUKU
1. Kelebihan buku
Penjelasan dari setiap
masalah dalam buku ini cukup jelas karena penulis meaparkannya dengan disertai
contoh-contoh yang relevan. Pembagian dan urutan pokok pembahasannya sangat
tepat sehingga mempermudah pembaca memahami isi atau alur tujuan dari buku ini.
Buku ini
ditulis dengan bahasa yang sistematis dan tampak bagaimana ia membandingkan pandangan
ilmuwan-ilmuwan dan filosof Muslim dan kebepihakannya kepada merekadengan
pandangan sekular Barat. Memiliki buku ini adalah sebuah kebanggaan.
Rujukan atau referensi dari buku ini ditulis atau dicantumkan di setiap bab,
hal ini mempermudah pembaca untuk lebih mendalami isi buku ini dan menggali
pengetahuan lainnya yang berkaitan dengan buku ini
2. Kekurangan buku
Dalam buku ini penulis
tidak menyatakan secara eksplisit apa yang menjadi obat bagi situasi yang
terjadi. Bahasa yang tigunakan terlalu tinggi, sehingga tidak semua kalangan
pembaca dapat memahaminya secara jelas.