Senin, 08 Oktober 2012

TUGAS RESUME Keterpaduan Islam dan Sains (Integrasi Ilmu)




TUGAS RESUME
Keterpaduan Islam dan Sains
(Integrasi Ilmu)

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Kelompok
Mata Kuliah: Pengembangan Praktikum
Dosen : Edy Candra, M.Si. M,Pd



LOGO IAIN.jpg





Disusun oleh:

Deasi Ratna Ningsih (59461230)

Biologi C / Semester VII


JURUSAN BIOLOGI - FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH NURJATI
CIREBON
2012






BAB I
PENDAHULUAN


A.Latar Belakang dan Gambaran Buku

Tuhan telah memberikan kita pilihan, bahkan pilihan untuk beriman atau ingkar kepada-Nya.dan apapun pilihan yang akhirnya kita pilih, kita harus bertanggung jawab terhadapnya, dalam arti menanggung segala konsekuensinya. Termasuk konsekuensinya terhadap pandangan dunia dan keilmuan kita. Ketika ilmuan-ilmuan barat (terutama massa pascarenaisans) merasa ragu, atau bahkan kehilangan kepercayaan mereka pada realitas metafisik (alam gaib) maka merekapun menganut paham sekuler dalam berbagai bentuknya: agnostistisisme, naturalisme, materialisme, ateisme, atau positivisme.pada gilirannya paham sekuler ini pun mempengaruhi pandangan keilmuan mereka sedemikian rupa sehinggamerekapun menciptakan sebuah sistem ilmu sekuler yang mereka sebut science sesuai dengan pandangan mereka.maka tak heran kalau dikatakan bahwa dibarat telah terjadi sekularisasi ilmu, dimana science dibatasi objek-objeknya hanya pada entitas-entitas fisik. Sejak massa itu ilmu (sains) tidak pisa dipisahkan dari “sekularitas”dan sejalan dengan hegemoni barat yang mendunia, maka pandangan sains “sekuler” inipun kemudian diadopsi dimana-mana di dunia ini termasuk di Indonesia. Dengan ini terkenalah ilmu-ilmu sekuler (umum) yang dikontraskan dengan ilmu-ilmu agama.
            Begitu lekatnya pengertian sains sekarang ini dalam pikiran kita sehinnga kita sering bertanya-tanya mungkinkah kedua macam ilmu tersebut dapat diintegrasikan? Tentu saja pertanyaan ini harus mendaptkan jawaban yang memadai mengingat pentingnya pern reintegrasi ilmu pengetahuan bagi perkembangan pendidikan dinegri tercinta ini.

Reitegrasi ilmu-ilmu: sebuah demonstrasi
DR.Haidar bagir
Sekali lagi pak mulyadhi melahirkan karya penting dan setelah beberapa bukunya yang telah terbit sebelumini, tak sulit bagi saya untuk mengatakan bahwa pak Mulyadhi memang tahu kemana kita harus berjalan. Dalam buku ini, pak Mulyadhi mengungkapkan kekayaan khazanah filsafat Islam dan sekaligus mendemonstrasikan kekayaan khazanah pemikiran penulisnya yang membuka peluang yang amat lega dan konkret bagi upaya-upaya reintegrasi itu, peluang ini dimungkinkan bukan hanya oleh kekayaan khazanah filsafat Islam sedemikian, melainkan juga oleh sifat filsafat Islam yang sejak awal perkembangannya amat menghargai pengembangan ilmu pengetahuan. Bahkan, lebih dari itu filsafat Islam memang tak pernah berkembang terlepas dari perkembangan ilmupengetahuan. Salah satusatu dampak sekularisme adalah pemisahan (dikotomi) ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum. Barat, sebagai penganut paham ini (sekular) hanya membatasi keilmuannya (sains modern) pada hal-hal yang bisa dikatakan ilmiah apabila obyek-obyeknya bersifat empiris. Sehingga, konsekuensi dari pembatasan ini akan menimbulkan dikotomi pada semua sisi keilmuan. Karena hanya berpijak pada hal yang bersifat empiris, yaitu segala yang bisa dicerap oleh indra (indriawi), maka di luar obyek indriawi mutlak dinafikan keberadaannya. Membicarakan hal-hal yang tidak nyata (gaib), seperti eksistensi Tuhan, malaikat, dan status jiwa (psikologi) adalah tidak ilmiah. Berdasar paham sains Barat ini. Kesenjangan paham inilah melatarbelakangi Dr. Mulyadi Kartanegara menuangkan kritik ilmiahnya melalui buku “Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik” Melalui kajian yang mendalam, ia melakukan upaya demonstratif dalam memadukan (integrasi) ilmu umum (sekular) dan ilmu agama. Menurut Mulyadi:

B. Biografi Penulis

Dr.Mulyadhi Kartanegara adalah doktor filsafat lulusan Universitas Chi cago. Kini, dia mengajar mata kuliah filsafat diberbagai perguruan tinggi: Program Pascasarjana di UIN Syarif Hidayatullah dan di IAIN Sunan Kalijaga; Program Pasca sarjana di Universitas Indonesia dan program pascasarjana Islamic College for Advanced Studies (ICAS) cabang  London,Jakarta. Karya-karyanya yang telah dipublikasikan, antara lain, adalah Renungan Mistik Jalal Al-Din Rumi (Pustaka Jaya,1987) dan Mozaik Khazanah Islam (Paramadina,2000), Sejarah Filsafat Islam (terjemahan,1999) dan The Venture of Islam (terjemahan,2002), menembus batas waktu (Mizan,2002). pengantar Epistomologi Islam (Mizan 2003), Jalal Al-Din Rumi: Guru Sufi, Penyair Agung (Teraju,2004), seni mengukir kata  (MCL,2005), dan kearifan para filosof (Hikmah,2005).
            Tahun 2001-2003 pernah menjadi Direktur Pelaksana Program Pascasarjana Pusat Kajian Agama dan Lintas Budaya Universitas Gadja Mada. Sekarang selain mengajar, ia aktif menulis – antara lain Tradisi Ilmiah Islam (selesai April 2005), dan menyelami lubuk Tasawuf, serta aktif berpartisipasi dalam berbagai seminar, dalam dan luar negri.


PROLOG
Tampak jelas bahwa Universitas Islam Negri (UIN) Syarif hidayatullah Jakarta sangat membutuhkan sebuah panduan bagi penyelenggaraan pendidikan yang andal dan integral, mengingat selama ne sistem pendidikanyang ada, baik pada level nasional maupun internasional, masih sangat dipengaruhi oleh dualisme yang kental antara ilmu-ilmu Agama, disatu pihak dan ilmu-ilmu umum / sekuler, dipihak lain.kebutuhan tersebut semakin mendesak lagi setelah lembaga ini berubah nama dan karakter dari sebuah institut yang membatasi dirinya pada kajian (dalam hal ini agama islam)-menjadi sebuah universitas.Perubahan ini tentu saja membawa konsekuensi diperkenalkannya bidan-bidang ilmu sekuler,seperti IPA ,psikologi ,matematika ,ekonomi ,tekhnik informasi kedokteran dll. Yang dari sudut metologis tentu memiliki perbedaan-perbedaan yang signifikan.Perbedaan-perbedaan yang signifikan dari sudut metodologis ini pada gilirannya telah menimbulkan problem-problem epistomologis yang hingga saat ini belum lagi ditemukan solusisolusinya yang efektif.
Bukti nyata dari kebutuhan UIN pada adanya panduan dan model integrasi ilmu ditunjukkan dengan diselenggarakannya seminar nasional berkenaan dengan reintegrasi ilmu,yang diselenggarakan tahun lalun . Seminar yang diharapkan mampu memformulasikan model pendidikan integral yang sangat dibutuhkan UIN dalam penyelenggaraan pendidikannya ini , telah memberikan banyak masukan yang berharga, tetapi tentu saja belum bisa dikatakan memadainsebagai panduanpraktis bagi penyelenggaraan proses belajar mengajar disana, sehingga masih dirasakan perlu untuk menyusun sebuah karya yang lebih sistematik dan terpadu bagi setiap fakultas yang mengelola program studi tertentu.



BAB II
INTISARI BUKU

PROBLEM

Diktonomi ilmu kedalam ilmu agama dan non agama, sebenarnya bukan hal yang baru. I slam telah mempunyai tradisi dikotomi ini lebih dari seribu tahun silam. Tetapi diktonomi tersebut tidak menimbulkan terlalu banyak problemdalam sistem pendidikan Islam, hingga sistem pendidikan sekuler Barat diperkenalkan ke dunia Islam melalui imperialisme. Hal ini terjadi karena , sekalipun dikotomi antara Ilmu-ilmu Agam dan non-agama itu telah dikenal dalam karya-karya klasik, seperti yang ditulis Al-Ghazali (w.1111) dan ibnu kaldun (w. 1406), ia tidak mengingkari, tetapi mengakui validitas dan status ilmiah masing-masing kelompok keilmuan tersebut.berbeda  dengan diktonomi yang di kenal dunia Isam, sains modern Barat sering menganggap rendah status keilmuan ilmu-ilmu keagamaan. Ketika berbicara tentang hal-hal gaib, ilmu Agma tidak bisa dipandang ilmiah karena sebuah ilmu baru bisa dikatakan ilmiah apabila objek-objeknya bersipatempiris. Padahal ilmu-ilmu agama tentu tidk bisa menghindar dari membicarakan hal-hal yang gaib, seperti tuhan, malaikat, dan sebagainya sebagai pembicaraan pokok mereka.
            Nah, ketika ilmu-ilmu sekuler positivistik tersebut diperkenalkan ke Dunia Islam lewat imperialisme barat, terjadilah dikotomi yang yang ketat antara ilmu-ilmu agma, sebagaimana dipertahankan dan dikembangkan dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional (pesantren) di satu pihak, dari ilmu-ilmu sekuler, sebagaimana diajarkan di sekolah-sekolah umum yang disponsori pemerintah dipihak lain. Pihak kaum teraisional menganggap bahwa ilmu-ilmu umum itu bi’dah atau haram dipelajari karena berasal dari orang-orang kafir ,sementara para pendukung ilmu –ilmu umum menganggap ilmu-ilmu agama sebagai pseudo ilmiah,atau hanya sebagai mitologi yang tidak akan mencapai tingkat ilmiah,karena tidak berbicara tentang fakta,tetapi tentang maknna yang tidak bersifat empiris.
Pada saat ini,justru dikotomi seperti inilah yang terjadi dan telah menimbulkan berbagai problem yang akut dalam sistim pendidikan kita. Di sekolah-sekolah umum,kita masih mengenal pemisahan yang ketat antara ilmu-ilmu seperti fisika,  matematika, biologi,sosiologi dll, dan ilmu ilmu agama, seperti tafsir, hadis, fikih, dan lain–lain, seakan akan muatan religius itu hanya ada pada mata pelajaran, sementara ilmu-ilmu umum semuanya adalah profan dan netral di lihat dari sudut religi.
            Di pihak lain, ilmu–ilmu agama yang mendasarkan dirinya pada kitab –kitab suci juga tidak semestinya di perlakukan lebih rendah dari pada ilmu–ilmu modern.karena seperti halnya fenomena alam adalah ayat–ayat atau tanda–tanda ilahi,demikian juga kitab suci adalah ayat-ayat tuhan yang sama dan satu.oleh karena itu,sebuah upaya harus di lakukan untuk bisa mengatasi problem dikotomi ilmu ini ke dalam sebuas sistem yang integratif dan holistik. Problem berikutnya yang bisa muncul dari dikotomi ilmu di atas adalah timbulnya kesenjangan tentang sumber ilmu antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum.para pendukung ilmu-ilmu agama hanya menganggap valid sumber-sumber ilahi dalam bentuk kitab suci dan tradisi kenabian dan menolak sumber-sumber non-skrip-tural sebagai sumber otoritatip untuk menjelaskan kebenaran yang sejati.percerapan indra dan penalaran rasional sering di sangsikan validitas dan efektivitasnya sebsgsi sumber ilmu pengetahuan.
Di pihak lain,ilmuan-ilmuan sekulerhanya menganggap valid informasi yang di peroleh melalui pengamatan indriawi,karena bagi mereka,satu-satunya sumber ilmu adalah pengalaman enpiris melalui persepsi indriawi lebih khusus lagi melalui metode induksi.metode deduksi yang di tempuh oleh akal atau nalar sering di curigai sebagai apriori,yakni tidak melalui pengalaman atau aposteriori.adapun pengalaman intuitip sering di anggap sepi hanya sebagai sebuah halusinasi atau bahkan sebuah ilusi belaka,sementara oleh kaum beragama intuisi (hati) di pandang sebagai sumber pengetahuan (ma’rifah) yang sangat mulia.demikian penting pengakuan atas intuisi sebagai sumber ilmu sehingga penolakan terhadapnya akan meruntuhkan pondasi utama bagi kepercayaan kita kenabian.
Selain kedua problem di atas,dikotomi ilmu ke dalam ilmu-ilmu agama dan umum (sekuler) ini juga bisa menimbulkan problem berkenaan objek-objek ilmu yang di anggap “sah” untuk sebuah di siplin ilmu.sain modern telah menentukan bahwa objek-objek ilmu yang sah adalah “segala sesuatu sejauh ia dapat di obserpasi atau di amati oleh indra “ .
Di pihak lain, para pendukung ilmu-ilmu agama justru menganggap bahwa objek-objek non fisik,seperti tuhan dan malaikat merupakan objek-objek mulia yang pembahasan tentangnya tidak hanya akan menguatkan dan meningkatkanstatus ilmiah bidang yang mempelajari objek tersebut.kontras antara kedua sistem ilmu tersebut dapat di lihat dari kenyataan bahwa sementara bagi para pemikir dan ilmuan muslim metafisika adalah mahkota ilmu,bagi ilmuan-ilmuan barat justru fisika yang mereka pandang sebagai the science,yakni sain sejati yang harus di teladani oleh semua disiplin ilmiah lainnya terutama dalam hal metode yang di gunakan metode lainnya.

Problem lainya yang sangat potensial muncul dari dikotomi klasifiksi ilmu secara radikal ke dalam ilmu-ilmu agama dan umum adalah munculnya disentegrasi pada tatanan klasifikasi ilmu.Ilmuwan-ilmuwan sekular hanya menganggap valid informasi yang diperoleh melalui pengamatan indriawi, karena bagi mereka, satu-satunya sumber ilmu adalah pengalaman empiris melalui persepsi indriawi, lebih khusus lagi melalui metode induksi. Metode deduksi yang ditempuh oleh akal atau nalar sering dicurigai sebagai apriori, yakni tidak melalui pengalaman atau aposteriori. Karena dalam metode ilmiah modern konvensional akal dipakai sebagai alat bantu dalam memutuskan valid tidaknya pengamatan indra yang dilakukan, tetapi bukan sebagai sumber ilmu yang independen.”

TAUHID: PRINSIP UTAMA INTEGRASI
Konsep tauhid tentu saja diambil dari formula konvensional “La ilaha illallah” yang artinya “tidak ada tuhan selain Allah”. Dan, seperti yang telah disinggung di atas,ia telah menjadi pinsif paling dasar dari ajaran Islam, dan dalam kaitannya dengan concern kita tentang integrasi ilmu,telah menjdi prinsip yang paling utama dari prinsip-prinsip epistemologi Islam, sehingga ia juga telah menjadi asas pemersatu atau dasar integrasi ilmu pengetahuan manusia.
            Dalam perkembangannya ,formula “la ilaha illallah” telah dipahami dan dirumuskan secara beragam oleh para teolog, fuqaha, sufi, dan filosof.  Para teolog dan fuqaha cenderung mengambil arti harfiah dan formula tersebut dengan menerjemahkannya sebagai “ tidak ada tuhan yang wajib disembah kecuali Allah”. Namun sejalan dengan pendekatan Filosofis (dan mistik) dalam karya ini, disini akan dibahas tauhid dalam perspektif filosofis karena dalam persefektifinilah integrasi ilmu menemukan ekspresinya yang paling nyata. Adanya konsep tauhid sudah bisa menjadi bantahan terhadap paham yang meniadakan eksistensi Tuhan. Sebagai Sang Kebenaran (al-Haqq) atau Sang Realitas Sejati (menurut bahasa Ibn ‘Arabi), tentu tidak bisa dicapai melalui pengamatan indriawi semata, tapi bisa dirasakan dan diketahui melalui penalaran (akal) karena kemampuannya menangkap hal-hal yang bersifat abstrak yang disebut ma’qulat (the intelligibles) atau bisa juga melalui intuisi atau hati yang perolehan tertingginya adalah wahyu, sedangkan yang lainnya bisa mengambil bentuk inspirasi (ilham), lintasan pikiran (flashes), dan lain-lain.
Dari konsep tauhid ini juga, sekaligus menjadi basis integrasi ilmu. Keyakinan tentang keesaan Tuhan (Allah), yang dalam penafsiran para filosof Muslim (al-falasifah) sebagai wahdah al-wujud (paham Mulla Shadra), yang berimplikasi akan keyakinan bahwa pemilik sejati wujud alam ini adalah Dia semata.  Berbeda dengan para teolog dan fuqaha, seperti di sebut di atas  para filosof Muslim mempunyai tafsir mereka sendiri tentang keesaan Tuhan (tauhid) ini,  Keesaan Tuhan bagi mereka berarti bahwa Tuhan  haruswlah simple (basith), tidak boleh tersusun dari apa pun kecuali zat (esensi)-Nya sendiri.
           Meskipun begitu, pandangan yang lebih relevan dengan topik kita  sebenar nya adalah tafsir keesaan Tuhan menurut Mulla Shadra dalam apa yang biasanya di sebut sebagai ajaran “wahdah al-wujud”.Tentu saja konsep wahdah al- wujud Mulla Shadra ini di adopsi dari konsep sufi, khususnya Ibn ‘Arabi’ (w. 1240). Sejalan dengan itu, para filosof muslim, khususnya Ibn Sina juga mengatakan bahwa pada dirinya alam adalah mumkin al-wujud artinya wujud-wujud yang mungkin, dan dengan itu dia maksudkan sebagai wujud potensial. Tetapi, dari semua pandangan yang ada, konsep wahdah al-wujud Mulla Shardah-lah yang,  menurut saya, paling cocok untuk dijadikan sebagai basis integrasi ilmu, terutama bagi ststus ontologis objek-objek penelitinya.
Dan karena itu, segala tingkat wujud boleh menjadi objek yang valid bagi ilmu karena realitas otologis mereka telah di tetapkan (fixed).Penjelasan Mulla Sharda tentang  wahdah al- wujud ini, tampaknya telah dia adopsi dari ajaran Suhrawardi Al-Maqtul (w. 1192) tentng cahaya. Menerutnya, cahaya padahakikatnya adalah satu, tapi dia menjadi berbeda beda tingkat dan intensitasnya karna adanya barzakh barzakh (bardzikh) yang menyela diantaranya. Dengan demikian, semakin jauh cahaya jauh dari sumbernya, yaitu Allah, sang Nur Al-anwar, maka akan semakin redup sinarnya karna sebagian diserap oleh rangkaian barzakh yang amat panjang yang seperti kaca riben dapat merambatkan cahaya itu pada yang di bawahnya, tetapi sebagian lagi terendam pada dirinya.
Inilah kiranya konsep tauhid Mulla Shadra dalam bentuk “kesatuan wujud” yang seperti telah di singgung di atas dapat dijadikan sebagai basis integrasi ilmu, terutama bagi objek-objek ilmu dan juga (sebagai implikasinya) bagi yan lain-lain, seperti suber, klasifikasi ilmu, metode ilmiah dan sebagainya, seperti yang akan saya tunjukan pada bab-bab berikutnya.
         Integrasi di bidang objek-objek ilmu juga bisa berimplikasi pada integrasi di bidang sumber ilmu. Sebab, kalau objek ilmu tidak terbatas hanya pada objek-objek fisik yang bisa di tangkap oleh indra-indra manusia, Oleh karena itu, sejalan dengan integrasi di bidang obje-objek ilmu, maka sumber ilmu juga harus diperluas meliputi akal, hati, dan wahyu.
Demikian pula konsep wahdah al- wujud ini juga bisa menjadi basis integrasi bagi metode ilmiah. Pembatasan objek ilmu oleh sains moderrn pada benda-benda fisik membuat metode utamanya adalah observasi indriawi.

Observasi indriawi ini bisa dilakukan  melalui alat bantu seperti teleskop atau mikroskop, tapi jelas dasarnya adalah observasi indra melalui eksperimentasi.Selain dibidang objek, sumber, dan metode konsep tauhid falsafi dalam bentuk ajaran wahdah al- wujud ini juga dapat menjadi basis klasifikasi ilmu-ilmu filosofis (rasional). Salah satu dampak sekularisme adalah pemisahan (dikotomi) ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum. Barat, sebagai penganut paham ini (sekular) hanya membatasi keilmuannya (sains modern) pada hal-hal yang bisa dikatakan ilmiah apabila obyek-obyeknya bersifat empiris. Sehingga, konsekuensi dari pembatasan ini akan menimbulkan dikotomi pada semua sisi keilmuan.

BASIS INTEGRASI ILMU-ILMU AGAMA DAN UMUM
Dikotomi yang begitu ketat antara ilmu-ilmu agama dan sekuler,seperti yang telah digambarkan  pada pendahulauan karya ini, tentunya sangat disayangkan karena telah mengarah pada pemisahan yang tidak bisa dipertemukan lagi antara keduanya dan bahkan cenderung pada penolakan keabsahan masing-masing dengan menggunakan metode yang juga sangat berbeda dengan sudut jenis dan prosedurnya.sebelum kita beranjak lebih jauh pada pembicaraan tentang basis integrasi bagi kedua ilmu tersebut, perlu kita kemukakan bahwa pemilahan (bukan pemisah) antara ilmu-ilmu agama dan umum sebenarnya telah diperkenalkan oleh para cendekiawan Muslim klasik, seperti Al-Ghazali dan ibn Khaldun. Tetapi karena mereka menggunakan konsep ilmu yang integral dan menemukan basis yang menyatukan keduanya, dikotomi yang mere lakukan hanyalah sekadar penjenisan bukan pemisah apalagi penolakan validitas yang satu terhadap yang lain sebagai bidang atau disiplin ilmu yang sah. Tentu saja ilmuan-ilmuan muslimakan percaya sepenuhnya bahwa sumber dari segala ilmu adalah Allah, Tuhan, yang mereka sebut sang Kebenaran (Al-Haqq) atau ada juga yang menyebutnya The Ultimate Reality (Realitas sejati).dan karena tujuan dari ilmu adalh untuk mengetahui sesuatu sebagaimana adanya, yang berarti untuk mengetahui kebenaran sejati, maka tuhan sebagai kebenaran sejati tentu merupakan sumber bagi segala kebenaran lainnya,termasuk kebenaran  atau realitas-realitas ilmu. Dengan demikian ilmuan-ilmuan Muslim sepakat bahwa sumber ilmu adalah Allah sendiri, sang kebenaran, persoalannya adalah bagaimana kita mengetahui kebenaran tersebut, dan mengapa terjadi pemilahan kedalam kedua kelompok ilmu tersebut diatas, kalau sumbernya satu dan sama.




INTEGRASI OBJEK-OBJEK ILMU
Dengan kriteria objek yang bisa dipelajari oleh sains seperti ini, maka sains modern telah mengembangkn studi atau kajian yang ekstensif tentang dunia fisik, dari dunia mikro, hingga dunia makro, agar terjadi integrasidibidang objek-objek ilmu maka lingkup ilmu harus diperluas, mencakup bukan hanya objek-objek fisik, melainkan juga nonfisik, seperti matematika dan metafisika. Adapun alasan yang biasanya dikemukakan oleh sains moderen untuk membatasi objek-objek ilmu ini hanya pada bidang fisik-empiris adalah karena objek-objek ini sajalah yang bisa diteliti secara objektif dan karena itu bisa diverifikasi kebenaranny. Adapun yang disebut dengan integrasi objek-objek ilmu ini adalah sebuah sistem terpadu objek-objek ilmu yang bersifat metafisik,imajinal, dan fisik yang disajikan secara utuh,bukan secara persial,ketika objek-objek ilmu hanya dibatasi pada bagian-bagian tertentu saja, dengan mengabaikkan objek-objek lainnya adapun objek-objek ilmu yang lebih dikenal dan diakui, baik oleh pemikir barat maupun muslim adalah objek-objek fisik yang bisa kita lihat dengan mata kepala kita.
                                                                                                                                                                    
INTEGRASI  BIDANG ILMU METAFISIKA
Kosekuensi integrasi objek-objek ilmu ini adalah adanya integrasi bidang-bidang, atau ada yang menyebutnya disiplin-disiplin ilmu. Lingkup objek-objek ilmu yang begitu luas dan
Beragam, oleh karena itu ilmuan-ilmuan muslim atau filosof-filosop muslim telah mengelompokkan bidang-bidang ilmu tersebut sesuai dengan kelompok objek-objeknya. Sebagai contoh, Ibn Sina (w. 1037), misalnya, mengelompokkan obyek-obyek ilmu ke dalam tiga macam, yaitu: (1) obyek-obyek yang secara niscaya tidak berkaitan dengan materi dan gerak; (2) obyek-obyek yang senantiasa berkaitan dengan materi dan gerak; dan (3) obyek-obyek yang pada dirinya immateriil, tetapi kadang melakukan kontak dengan materi dan gerak. Ilmu-ilmu metafisika yaitu kelompok ilmu yang mempelajari entitas-entitas  yang berada di balik alam fisik.ibnu khaldun, dalam kitabnya yang terkenal Al-Muqodimah, membagi ilmu-ilmu metafisika ke dalam lima bagian:
  1. bagian yang mempelajari wujud sebagai wujud, yang biasa disebut ontologi atau ilmu tentang wujud
  2. bagian yang mempelajari materi umum yang mempengaruhi benda-benda jasmani dan spiritual, seperti kuiditas, kesatuan, pluralitas, dan kemungkinan.
  3. Bagian yang mempelajari asal-usul benda-benda yang ada dan menentukan apakah mereka itu adalah entitas-entitas spiritual atau bukan.
  4. Bagian yang mempelajari bagaimana cara benda-benda yang ada muncul dari entitas-entitas spiritual dan mempelajari susunan mereka.
  5. Bagian yang mempelajari keadaan jiwa setelah perpisahannya dengan badan dan kembalinya ia ke asal atau permulaannya.

  • Mate-matika dibagi menjadi tujuh cabang yaitu;
1.Aritmettika
2.Geometri
3.Astronomi
4.Musik
5.Optika
6.ilmu tentang gaya
7.Alat-alat mekanik

  • Ilmu-ilmu Alamyang menyelidiki benda-benda alami dan aksiden-aksiden yang   inheren didalamnya, dibagi menjadi:
  1. Minerologi, yang meliputi: kimia, geologi, metalurgi
  2. Botani yang berkaiatan dengan seluruh spesies tumbuhan, dan sifat umum  dan khusus dari masing-masing spesies
  3. Zologi, yang berhubungan dengan berbagai spesies binatang yang berbeda-beda.

INTEGRASI SUMBER ILMU
Yang dimaksud dengan sumber ilmu adalah alat atau sesuatu dari mana manusia bisa mendapatkan informasi tentang objek-objek ilmu yang berbeda-beda sifat dasar (tabiatnya).ketika sains barat membatasi objeknya hanya pada entitas-entitas fisik, maka alat atau sumber yang mereka pakai untuk memperoleh pengetahuan tentang entitas-entitas fisik tersebut adalah indra-indra fisik(senses).tentu saja indra merupakan alat yang canggih untuk memperoleh informasi tentang benda-benda fisik dari berbagai dimensi bentuk : suara, rasa, raba, dan bau.baik ilmuan barat dan ilmuan muslim tidak berselisih paham tentang ini, yakni tentang pentingnya indra sebagai sumber ilmu.hanya saja karena objek-objek ilmu tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga non fisik, tentunya perlu dicari alat (sumber) ilmu pengetahuan lain yang mampu menggali informasi tentang objek-objek non indriawi.

INTEGRASI PENGALAMAN MANUSIA
Kita sering mendengar ungkapan bahwa ilmu (sains) harus bersifat empiris, artinya berdasarkan pada pengalaman, tetapi yang dimaksud dengan pengalaman disini biasanya adalah pengalaman indriawi karena menurut para pendukungnya ,pengalaman indriawi inilah satu-satunya pengalaman manusia yang dapat diverifikasi secara ilmiah yaitu dapat dibuktikan benar


INTEGRASI PENJELASAN ILMIAH
Pemihakan sains moderen terhadap materialisme dalam bentuk positivisme dan naturalisme telah menyebabkan timbulnya pemberontakan (revolusi) terhadap penjelasan ilmiah aristotelian, yamg mensyaratkan sebuah penjelasan ilmiah untuk memenuhi empat sebab atau empat perinsip penjelasan:
1.sebab efesien
2.sebab final
3.sebab material
4.sebab formal

Dalam alam pikiran moderen, sebab material dan formal dianggap kuno dan tidak memiliki nilai makna yang besar kecuali dalam estetika. Sebab final juga telah lama disingkirkan dalam fisika. Dalam bidang biologi, sebab final kadang-kadang masih digunakan, pada level common sense, untuk memahami fenomena biologis atau perkembangan, tetapi sebagian besar ahli biologi dengan terang-terangan menganggap tak berguna atau bahkan menjijikan terhadap sebab-sebab tersebut.pada massa sekarang, satu-satunya sebab yang masih diperhatikan dalam penjelasan ilmiah sains modern adalah sebab efesien, yang dipandang sebagai  sebab terjadinya gerak atau perubahan. Dengan demikian, menjadi jelas betapa keempat sebab ini merupakan satu kesatuan tunggal dari penjelasan ilmiah yang tidak akan sempurna kalau kita meninggalkan atau hanya mengambil salah satunya. Hanya dengan  menjelaskan keempat sebab bagi sebuah objek yang sedang kita teliti, maka kita akan memperoleh pengetahuan yang holistik dan komprehesif tentangnya.



INTEGRASI ILMU TEORITIS DAN PRAKTIS
Dalam tradisi filosofis Islam, pengetahuan teoritis dan praktis—sesekali pun bisa dibedakan menurut obyek dan tugasnya—tidak bisa dipisahkan secara tegas tanpa menimbulkan disintegrasi pemahaman kita. Ilmu-ilmu praktis yang diciptakan oleh para filosof Muslim selalu mempunyai landasan teoritis—khususnya landasan metafisiknya. Itulah sebabnya, mengapa buku politik al-Farabi tidak langsung berbicara tentang topik-topik yang berkaitan dengan politik, tetapi justru dimulai dengan diskusi yang cukup panjang tentang topik-topik metafisika.” (hlm. 164)

PSIKOLOGI SEBUAH STUDI KASUS
Dalam pembahasan ini ingin mengemukakan contoh dalam bentuk studi kasus dari sebuah cabang ilmu, yaitu psikologi, yang dapat dikaji secara integral dan holistik. Psikologi merupakan bidang yang menarik untuk dikaji secara integral karena kedudukannya yang istimewa antara dunia fisik dan dunia metafisik, dalam kajiah ilmiah modern Barat “jiwa” tidak lagi dipandang sebagai subtansi materil yang berbagi dengan dunia metafisik , tetapi semata-mata sebagai fungsi otak dengan sistem neurologisnya yang canggih, tetapi tetap bersifak fisik, berbeda dengan pandangan ilmu barat modern, para filosof muslim dari Miskawaih,Ibnu sina dan Mula Shandra memandang jiwa sebagai sebuah substansi immateril yang memiliki kaitan yang erat dengan jiwa-jiwa atau intelek samawi yang bersifat immateril (metafisik).
Di Barat, psikologi mengalami reduksi dan degradasi yang parah. Dengan keinginannya untuk diakui sebagai disiplin ilmiah, psikologi harus rela tunduk pada paradigma positivistik, dengan membatasi bidang kajiannya hanya pada bidang-bidang empiris dan risiko ia harus kehilangan dimensi metafisiknya. Psikologi dalam tradisi filosofis Islam dapat dilihat dalam konteks yang sangat luas, yaitu metafisik atau kosmik sehingga jiwa manusia pun dapat, setelah kematiannya,meneruskan perjalanan hidupnya untuk kembali kepada asalnya yang tidaklain dari Allah SWT.





BAB III
           KELEBIHAN DAN KEKURANGAN BUKU

1. Kelebihan buku
Penjelasan dari setiap masalah dalam buku ini cukup jelas karena penulis meaparkannya dengan disertai contoh-contoh yang relevan. Pembagian dan urutan pokok pembahasannya sangat tepat sehingga mempermudah pembaca memahami isi atau alur tujuan dari buku ini. Buku ini ditulis dengan bahasa yang sistematis dan tampak bagaimana ia membandingkan pandangan ilmuwan-ilmuwan dan filosof Muslim dan kebepihakannya kepada merekadengan pandangan sekular Barat. Memiliki buku ini adalah sebuah kebanggaan. Rujukan atau referensi dari buku ini ditulis atau dicantumkan di setiap bab, hal ini mempermudah pembaca untuk lebih mendalami isi buku ini dan menggali pengetahuan lainnya yang berkaitan dengan buku ini

2. Kekurangan buku
Dalam buku ini penulis tidak menyatakan secara eksplisit apa yang menjadi obat bagi situasi yang terjadi. Bahasa yang tigunakan terlalu tinggi, sehingga tidak semua kalangan pembaca dapat memahaminya secara jelas.